Minggu, 15 Maret 2020

NGILO GITHOKE DHEWE, BELAJAR BISA RUMANGSA

image

Manusia memang ketempatan sifat egois.
Kata “Saya” adalah kata yang jauh lebih banyak diucapkan daripada “kita” atau “anda”.
Semua yang paling baik dan benar adalah “saya” dan kalau ada yang tidak baik atau tidak benar maka itu adalah kapling “anda”. barangkali ada yang masih ingat ceritera masa kanak-kanak dulu tentang “putri salju”, sang ibu tiri yang setiap hari bercermin di hadapan cermin ajaibnya: “Wahai cermin ajaib, siapakah wanita yang paling cantik? Jawaban selalu “andalah yang tercantik”, kecuali setelah kedatangan si putri salju. Tidak mau mengakui kelemahan diri ini tercermin pula dalam peribahasa Indonesia: “Buruk rupa cermin dibelah”.
Dalam kehidupan Jawa sebenarnya perilaku seperti diatas amat tidak disarankan. Masalahnya “Jawa panggonane semu” sehingga budaya Jawa tidak terus terang mengatakan kamu harus begini atau begitu, kamu kurang ini atau kurang itu. Ungkapannya disamarkan.

MULAT SARIRA DAN BISA RUMANGSA
Keduanya adalah ungkapan tingkat tinggi. “Mulat sarira hangrasa wani” adalah ajaran Sri Mangkunegara I, bagian dari tiga kalimat “Tri Dharma”, dimana sebelumnya diawali dengan “Rumangsa melu handarbeni dan Wajib melu hangrungkebi”. Pengertian “mulat sarira” sendiri adalah menilai diri sendiri, atau introspeksi, baik keunggulan maupun kelemahan. Perlu dicatat bahwa menilai keunggulan diri jauh lebih mudah daripada menilai kelemahan diri. “Mulat sarira” harus mampu menempatkan diri pada posisi tidak memihak, sehingga kita akan mencapai hasil “BISA RUMANGSA”, bisa sadar khususnya hal-hal yang kurang dari diri kita, sehingga bisa diperbaiki supaya lebih sempurna. Kalau perlu, kita minta penilaian orang lain. Hal itu tidak gampang sehingga tidak banyak yang mau. Yang disuruh menilai juga merasa tidak enak dan ada kekhawatiran salah terima karena ia harus “Blaka”
seperti Werkudara yang selalu “ Cekak aos blaka suta ” atau assertive. Karena “Jawa panggonane semu” maka amat sulit bagi orang Jawa untuk assertive atau blaka suta.
Jadi kita kembali kepada diri kita sendiri, kita harus mampu “Mulat sarira” supaya “bisa rumangsa”

AMBUNEN SIKUTMU DHEWE
Salah satu hal yang tidak mungkin dilaksanakan: “mencium siku kita sendiri”. Kalau tidak percaya boleh dicoba, pasti tidak sampai ke siku, hanya mendekati siku saja. Ungkapan ini seolah-olah memperkuat pendapat bahwa introspeksi diri itu tidak mungkin 100 persen benar. Contohnya ada orang yang suka marah-marah dan diingatkan oleh temannya. Ia menyangkal kalau pemarah. Maka temannya mengatakan: “jajal ambunen sikutmu dhewe”. Ya mana bisa. Yang jelas sikut itu tidak berbau seperti ketiak. Untuk membau ketiak sendiri, kita masih bisa, apalagi ketiak memang sumber bau. Tetapi membaui siku yang banyak tidak berbaunya sekaligus tidak terjangkau, mana mungkin?
Maksud si teman mengatakan “ambunen sikutmu dhewe” adalah: Tidak ada orang yang mampu menilai diri sendiri dengan benar. Dengan kata lain, butuh orang lain. Oleh sebab itu ungkapan selanjutnya adalah “Ngiloa githokmu dhewe”

NGILOA GITHOKMU DHEWE
Jelas tidak mungkin kita melihat belakang kepala kita. Biarpun pakai cermin, tetap tidak mungkin.
Ungkapan ini bisa digunakan untuk menegur atau menasihati, tetapi yang biasa dipakai adalah untuk
ngrasani: “Ana wong kok ora gelem ngilo githoke dhewe” (Orang kok tidak mau bercermin ke tengkuknya sendiri).
Misalnya saya ditegur “Mbok ngiloa githokmu dhewe”. Kalau dipikir malah merupakan teguran sia-sia.
Menegur secara tidak jelas untuk satu hal yang saya tidak tahu. Kecuali saya cukup arif, tahu kalau tidak mungkin ngerti,

PENUTUP
Bukankah melihat tengkuk hanya bisa dilakukan dengan dua cermin? Berarti dalam pengembangan diri
sebagai manusia, kita butuh orang lain. Dalam menapaki hidup ini, kita butuh teman. Apakah ada orang
yang berani mengatakan “Rumangsa ora butuh kanca?”

─╬─ Ҳҳ--GANKSHTE22--Ҳҳ ─╬─