Kamis, 24 Juli 2014

Misteri Bulan Sura


Berikut ini kami paparkan arti bulan Sura secara maknawi dan dimanakah letak kesakralannya.

MELURUSKAN BERITA “burung”
Tradisi dan kepercayaan Jawa melihat bulan Sura sebagai bulan sakral. Bagi yang memiliki talenta sensitifitas indera keenam (batin) sepanjang bulan Sura aura mistis dari alam gaib begitu kental melebihi bulan-bulan lainnya. Tetapi sangat tidak bijaksana apabila kita buru-buru menganggapnya sebagai bentuk paham syirik dan kemusrikan. Anggapan seperti itu timbul karena disebabkan kurangnya  pemahaman sebagian masyarakat akan makna yang mendalam di baliknya. Musrik atau syirik berkaitan erat dengan cara pandang batiniah dan suara hati, jadi sulit menilai hanya dengan melihat manifestasi perbuatannya saja.  Jika musrik dan syirik diartikan sebagai bentuk penyekutuan Tuhan, maka punishment terhadap tradisi bulan Sura itu  jauh dari kebenaran, alias tuduhan tanpa didasari pemahaman yang jelas dan beresiko tindakan pemfitnahan. Biasanya anggapan musrik dan sirik muncul karena mengikuti trend atau ikut-ikutan pada perkataan seseorang yang dinilai secara dangkal layak menjadi panutan. Padahal tuduhan itu jelas merupakan kesimpulan yang bersifat subyektif dan mengandung stigma, dan sikap menghakimi secara sepihak.
Masyarakat Jawa mempunyai kesadaran makrokosmos, bahwa Tuhan menciptakan kehidupan di alam semesta ini mencakup berbagai dimensi yang fisik (wadag) maupun metafisik (gaib). Seluruh penghuni masing-masing dimensi mempunyai kelebihan maupun kekurangan. Interaksi antara dimensi alam fisik dengan dimensi metafisik merupakan interaksi yang bersimbiosis mutual, saling mengisi mewujudkan keselarasan dan keharmonisan alam semesta sebagai upaya memanifestasikan rasa sukur akan karunia terindah dari Tuhan YME. Sehingga manusia bukanlah segalanya di hadapan Tuhan, dan dibanding mahluk Tuhan lainnya. Manusia tidak seyogyanya mentang-mentang mengklaim dirinya sendiri sebagai mahluk paling sempurna dan mulia, hanya karena akal-budinya. Selain kesadaran makrokosmos, sebaliknya di sisi lain kesadaran mikrokosmos Javanisme bahwa akal-budi ibarat pisau bermata dua, di satu sisi dapat memuliakan  manusia tetapi di sisi lain justru sebaliknya akan menghinakan manusia, bahkan lebih hina dari binatang, maupun mahluk gaib jahat sekalipun.
Berdasarkan dua dimensi kesadaran itu, tradisi Jawa memiliki prinsip hidup yakni pentingnya untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian alam semesta agar supaya kelestarian alam tetap terjaga sepanjang masa. Menjaga kelestarian alam merupakan perwujudan syukur tertinggi umat manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menganugerahkan bumi ini berikut seluruh isinya untuk dimanfaatkan umat manusia.
Dalam tradisi Jawa sekalipun yang dianggap paling klenik sekalipun, prinsip dasar yang sesungguhnya tetaplah  PERCAYA KEPADA TUHAN YME. Di awal atau di akhir setiap kalimat doa dan mantra selalu diikuti kalimat; saka kersaning Gusti, saka kersaning Allah. Semua media dalam ritual, hanya sebatas dipahami sebagai media dan kristalisasi dari simbol-simbol doa semata. Doa yang ditujukan hanya kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Prinsip tersebut memproyeksikan bahwa kaidah dan prinsip religiusitas ajaran Jawa tetap jauh dari kemusrikan maupun syirik yang menyekutukan Tuhan.
Cara pandang tersebut membuat masyarakat Jawa memiliki tradisi yang unik dibanding dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tipikal tradisi Jawa kental akan penjelajahan wilayah gaib sebagai konsekuensi adanya interaksi manusia terhadap lingkungan alam dan seluruh isinya. Lingkungan alam dilihat memiliki dua dimensi, yakni fana/wadag atau fisik, dan lingkungan dimensi gaib atau metafisik. Lingkungan alam tidak sebatas apa yang tampak oleh mata, melainkan meliputi pula lingkungan yang tidak tampak oleh mata (gaib). Boleh dikatakan pemahaman masyarakat Jawa akan lingkungan atau dimensi gaib sebagai bentuk “keimanan“ (percaya) kepada yang gaib. Bahkan oleh sebagian masyarakat Jawa, unsur kegaiban tidak hanya sebatas diyakini atau diimani saja, tetapi lebih dari itu seseorang dapat membuktikannya dengan bersinggungan atau berinteraksi secara langsung dengan yang gaib sebagai bentuk pengalaman gaib. Oleh karena itu, bagi masyarakat Jawa dimensi gaib merupakan sebuah realitas konkrit. Hanya saja konkrit dalam arti tidak selalu dilihat oleh mata kasar, melainkan konkrit dalam arti Jawa yakni termasuk hal-hal yang dapat dibuktikan melalui indera penglihatan  maupun indera batiniah. Meskipun demikian penjelasan ini mungkin masih sulit dipahami bagi pihak-pihak yang belum pernah samasekali bersinggungan dengan hal-hal gaib. Sehingga cerita-cerita maupun kisah-kisah gaib dirasakan menjadi tidak masuk akal, sebagai hal yang mustahal, dan menganggap pepesan kosong belaka. Pendapat demikian sah-sah saja, sebab tataran pemahaman gaib memang tidak semua orang dapat mencapainya. Yang merasa mampu memahamipun belum tentu tapat dengan realitas gaib yang sesungguhnya. Sedangkan agama sebatas memaparkan yang bersifat universal, garis besar, dan tidak secara rinci. Perincian mendetail tentang eksistensi alam gaib merupakan rahasia ilmu Tuhan Yang Maha Luas, tetapi Tuhan Maha Adil tetap memberikan kesempatan kepada umat manusia untuk mengetahuinya walaupun sedikit namun dengan sarat-sarat yang berat dan tataran yang tidak mudah dicapai.

MISTERI BULAN SURA
     Bulan Sura adalah bulan baru yang digunakan dalam tradisi penanggalan Jawa.  Di samping itu bagi masyarakat Jawa adalah realitas pengalaman gaib bahwa dalam jagad makhluk halus pun mengikuti sistem penanggalan sedemikian rupa.  Sehingga bulan Sura juga merupakan bulan baru yang berlaku di jagad gaib. Alam gaib yang dimaksudkan adalah; jagad makhluk halus ; jin, setan (dalam konotasi Jawa; hantu), siluman, benatang gaib, serta jagad leluhur ; alam arwah, dan bidadari. Antara jagad fana manusia (Jawa), jagad leluhur, dan jagad mahluk halus berbeda-beda dimensinya.  Tetapi dalam berinteraksi antara jagad leluhur dan jagad mahluk halus di satu sisi, dengan jagad manusia  di sisi lain, selalu menggunakan penghitungan waktu penanggalan Jawa. Misalnya; malam Jum’at Kliwon (Jawa; Jemuah) dilihat sebagai malam suci paling agung yang biasa digunakan para leluhur “turun ke bumi” untuk njangkung dan njampangai (membimbing) bagi anak turunnya yang menghargai dan menjaga hubungan dengan para leluhurnya. Demikian pula, dalam bulan Sura juga merupakan bulan paling sakral bagi jagad makhluk halus. Mereka bahkan mendapat “dispensasi” untuk melakukan seleksi alam. Bagi siapapun yang hidupnya tidak eling dan waspada, dapat terkena dampaknya.
Dalam siklus hitungan waktu tertentu yang merupakan rahasia besar Tuhan, terdapat suatu bulan Sura yang bernama Sura Duraka.  Disebut sebagai bulan Sura Duraka karena merupakan bulan di mana terjadi tundan dhemit. Tundan dhemit maksudnya adalah suatu waktu di mana terjadi akumulasi para dedemit yang mencari “korban” para manusia yang tidak eling dan waspadha. Karena pada bulan-bulan Sura biasa para dedhemit yang keluar tidak sebanyak pada saat bulan Sura Duraka. Sehingga pada bulan Sura Duraka biasanya ditandai banyak sekali musibah dan bencana melanda jagad manusia. Bulan Sura Duraka ini pernah terjadi sepanjang bulan Januari s/d Februari 2007.  Musibah banyak terjadi di seantero negeri ini. 1) Di awali tenggelamnya KM Senopati di laut Banda yang terkenal sebagai palung laut terdalam di wilayah perairan Indonesia. Kecelakaan ini memakan korban ratusan jiwa. 2) Kecelakaan Pesawat Adam Air hilang tertelan di palung laut dekat teluk Mandar, posisi di 40 mil barat laut Majene. 3) Kereta api mengalami anjlok dan terguling sampai 3 kali kasus selama sebulan. 4) Tabrakan bus di pantura, bus menyeruduk rumah penduduk. 5) Kecelakaan pesawat garuda di Yogyakarta. 6) Beberapa maskapai penerbangan mengalami gagal take off, gagal landing, mesin error dsb. 7) Jakarta dilanda banjir terbesar sepanjang masa. 8) Kapal terbakar di Sulawesi dan maluku. 9) Kapal laut di selat Karimun terbakar lalu tenggelam memakan ratusan korban berikut wartawan TV peliput berita. 10) Banjir besar di Jawa Tengah, Angin puting beliung sepanjang Pulau Jawa-Sumatra. Dan masih  banyak lagi kecelakaan pribadi yang waktu itu Kapolri sempat menyatakan sebagai bulan kecelakaan terbanyak meliputi darat, laut dan udara.
Atas beberapa uraian pandangan masyarakat Jawa tersebut kemudian muncul kearifan yang kemudian mengkristal menjadi tradisi masyarakat Jawa selama bulan Sura.  Sedikitnya ada 5 macam ritual yang dilakukan menjelang dan selama bulan Sura seperti berikut ini;

1.  Siraman malam 1 Sura; mandi besar dengan menggunakan air serta dicampur kembang setaman. Sebagai bentuk “sembah raga” (sariat) dengan tujuan mensucikan badan, sebagai acara seremonial pertanda dimulainya tirakat sepanjang bulan Sura; lantara lain lebih ketat dalam menjaga dan mensucikan hati, fikiran, serta menjaga panca indera dari hal-hal negatif. Pada saat dilakukan siraman diharuskan sambil berdoa memohon keselamatan kepada Tuhan YME agar senantiasa menjaga kita dari segala bencana, musibah, kecelakaan. Doanya dalam satu fokus yakni memohon keselamatan diri dan keluarga, serta kerabat handai taulan. Doa tersirat dalam setiap langkah ritual mandi. Misalnya, mengguyur badan dari ujung kepala hingga sekujur badan sebanyak 7 kali siraman gayung (7 dalam bahasa Jawa; pitu, merupakan doa agar Tuhan memberikan pitulungan atau pertolongan). Atau 11 kali (11 dalam bahasa Jawa; sewelas, merupakan doa agar Tuhan memberikan kawelasan; belaskasih). Atau 17 kali (17 dalam bahasa Jawa; pitulas; agar supaya Tuhan memberikan pitulungan dan kawelasan). Mandi lebih bagus dilakukan tidak di bawah atap rumah; langsung “beratap langit”; maksudnya adalah kita secara langsung menyatukan jiwa raga ke dalam gelombang harmonisasi alam semesta.

2.  Tapa Mbisu (membisu); tirakat sepanjang bulan Sura berupa sikap selalu mengontrol ucapan mulut agar mengucapkan hal-hal yang baik saja. Sebab dalam bulan Sura yang penuh tirakat, doa-doa lebih mudah terwujud. Bahkan ucapan atau umpatan jelek yang keluar dari mulut dapat “numusi” atau terwujud. Sehingga ucapan buruk dapat benar-benar mencelakai diri sendiri maupun  orang lain.

3.  Lebih Menggiatkan Ziarah; pada bulan Sura masyarakat Jawa lebih menggiatkan ziarah ke makam para leluhurnya masing-masing, atau makam para leluhur yang yang dahulu telah berjasa untuk kita, bagi masyarakat, bangsa, sehingga negeri nusantara ini ada. Selain mendoakan, ziarah sebagai tindakan konkrit generasi penerus untuk menghormati para leluhurnya (menjadi pepunden). Cara menghormati dan menghargai jasa para leluhur kita selain mendoakan, tentunya dengan merawat makam beliau. Sebab makam merupakan monumen sejarah yang dapat dijadikan media mengenang jasa-jasa para leluhur; mengenang dan mencontoh amal kebaikan beliau semasa hidupnya. Di samping itu kita akan selalu ingat akan sangkan paraning dumadi. Asal-usul kita ada di dunia ini adalah dari turunan beliau-beliau. Dan suatu saat nanti kita semua pasti akan berpulang ke haribaan Tuhan Yang maha Kuasa. Mengapa harus datang ke makam, tentunya atas kesadaran bahwa semua warisan para leluhur baik berupa ilmu, kebahagiannya, tanah kemerdekaan, maupun hartanya masih bisa dinikmati hingga sekarang, dan dinikmati oleh semua anak turunnya hingga kini. Apakah sebagai keturunannya kita masih tega hanya dengan mendoakan saja dari rumah ? Jika direnungkan secara mendalam menggunakan hati nurani, sikap demikian tidak lebih dari sekedar menuruti egoisme pribadi (hawa nafsu negatif) saja. Anak turun yang mau enaknya sendiri enggan datang susah-payah ke makam para leluhurnya, apalagi terpencil nun jauh harus pergi ke pelosok desa mendoakan dan merawat seonggok makam yang sudah tertimbun semak belukar. Betapa teganya hati kita, bahkan dengan mudahnya mencari-cari alasan pembenar untuk kemalasannya sendiri, bisa saja menggunakan alasan supaya menjauhi kemusyrikan. Padahal kita semua tahu, kemusyrikan bukan lah berhubungan dengan perbuatan, tetapi berkaitan erat dengan hati. Jangan-jangan sudah menjadi prinsip bawah sadar sebagian masyarakat kita, bahwa lebih enak menjadi orang bodoh, ketimbang menjadi orang winasis dan prayitna tetapi konsekuensinya tidak ringan.

4.  Menyiapkan sesaji bunga setaman dalam wadah berisi air bening. Diletakkan di dalam rumah. Selain sebagai sikap menghargai para leluhur yang njangkung dan njampangi anak turun, ritual ini penuh dengan makna yang dilambangkan dalam uborampe. Bunga mawar merah, mawar putih, melati, kantil, kenanga. Masing-masing bunga memiliki makna doa-doa agung kepada Tuhan YME yang tersirat di dalamnya (silahkan dibaca dalam forum tanya jawab). Bunga-bungaan juga ditaburkan ke pusara para leluhur, agar supaya terdapat perbedaan antara makam seseorang yang kita hargai dan hormati, dengan kuburan seekor kucing yang berupa gundukan tanah tak berarti dan tidak pernah ditaburi bunga, serta-merta dilupakan begitu saja oleh pemiliknya berikut anak turunnya si kucing.

5.  Jamasan pusaka; tradisi ini dilakukan dalam rangka merawat atau memetri warisan dan kenang-kenangan dari para leluhurnya. Pusaka memiliki segudang makna di balik wujud fisik bendanya. Pusaka merupakan buah hasil karya cipta dalam bidang seni dan ketrampilan para leluhur kita di masa silam. Karya seni yang memiliki falsafah hidup yang begitu tinggi. Selain itu pusaka menjadi situs dan monumen sejarah, dan memudahkan kita simpati dan berimpati oleh kemajuan teknologi dan kearifan lokal para perintis bangsa terdahulu. Dari sikap menghargai lalu tumbuh menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi generasi penerus bangsa agar berbuat lebih baik dan maju di banding prestasi yang telah diraih para leluhur kita di masa lalu. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para leluhurnya, para pahlawannya, dan para perintisnya. Karena mereka semua menjadi sumber inspirasi, motivasi dan tolok ukur atas apa yang telah kita perbuat dan kita gapai sekarang ini. Dengan demikian generasi penerus bangsa tidak akan mudah tercerabut (disembeded) dari “akarnya”. Tumbuh berkembang menjadi bangsa yang kokoh, tidak menjadi kacung dan bulan-bulanan budaya, tradisi, ekonomi, dan politik bangsa asing. Kita sadari atau tidak, tampaknya telah lahir megatrend terbaru abad ini, sekaligus paling berbahaya, yakni merebaknya bentuk the newest imperialism melalui cara-cara politisasi agama.

6.  Larung sesaji; larung sesaji merupakan ritual sedekah alam. Uborampe ritual disajikan (dilarung) ke laut, gunung, atau ke tempat-tempat tertentu. Tradisi budaya ini yang paling riskan dianggap musrik. Betapa tidak, jikalau kita hanya melihat apa yang tampak oleh mata saja tanpa ada pemahaman makna esensial dari ritual larung sesaji. Baiklah, berikut saya tulis tentang konsep pemahaman atau prinsip hati maupun pola fikir mengenai tradisi ini. Pertama; dalam melaksanakan ritual hati kita tetap teguh pada keyakinan bahwa Tuhan adalah Maha Tunggal, dan tetap mengimani bahwa Tuhan Maha Kuasa menjadi satu-satunya penentu kodrat. Kedua; adalah nilai filosofi, bahwa ritual larung sesaji merupakan simbol kesadaran makrokosmos yang bersifat horisontal, yakni penghargaan manusia terhadap alam. Disadari bahwa alam semesta merupakan sumber penghidupan manusia, sehingga untuk melangsungkan kehidupan generasi penerus atau anak turun kita, sudah seharusnya kita menjaga dan melestarikan alam. Kelestarian alam merupakan warisan paling berharga untuk generasi penerus. Ketiga; selain kedua hal di atas, larung sesaji merupakan bentuk interaksi harmonis antara manusia dengan seluruh unsur alam semesta. Disadari pula bahwa manusia hidup di dunia berada di tengah-tengah lingkungan bersifat kasat mata atau jagad fisik, maupun  gaib atau jagad metafisik. Kedua dimensi jagad tersebut saling bertetanggaan, dan keadaannya pun sangat kompleks. Manusia dan seluruh makhluk ciptaan Tuhan seyogyanya menjaga keharmonisan dalam bertetangga, sama-sama menjalani kehidupan sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Sebaliknya,  bilamana dalam hubungan bertetangga (dengan alam) tidak harmonis, akan mengakibatkan situasi dan kondisi yang destruktif dan merugikan semua pihak. Maka seyogyanya jalinan keharmonisan sampai kapanpun tetap harus dijaga.


Dalam rasa kebersamaan ini semoga Tuhan melimpahkan berkah, rahmat, anugrah, dan kemuliaan bagi kita semua, untuk menggapai kehidupan sejati yang lebih baik. Kita jaga toleransi, redamkan hawa nafsu angkara, endapkan segala ke-aku-an, kita tundukkan sikap narsis; egosentris; egois; bengis. Bahu-membahu, menciptakan negeri yang indah, sejuk, tenteram. Kita buang benih-benih kebencian, dan taburkan benih-benih kedamaian.  Kita semai rasa kasih sayang. Kita wujudkan negeri yang penuh kebahagiaan, untuk saat ini dan selamanya. Amin

Salam Taklim
Wilujeng Rahayu
Salam Persaudaraan
Arief Mst


─╬─ Ҳҳ--GANKSHTE22--Ҳҳ ─╬─


Urip Kudu Murup


Meraih jabatan dan kekuasaan itu hal yang mudah, tetapi menjadi pemimpin yang melaksanakan amanat tidaklah mudah. Menjadi pemimpin bisa menjadi suatu berkah, bisa pula menjadi malapetaka dalam kehidupan. Baik kehidupan dirinya sendiri maupun kehidupan rakyat yang dipimpinnya. Seorang pemimpin akan menjadi sumber malapetaka bagi rakyatnya apabila dia orang yang tidak memenuhi asas kepantasan. Sebaliknya seorang pemimpin akan menjadi sumber anugrah bagi rakyatnya apabila dirinya telah memenuhi asas kepantasan.

Apakah ASAS KEPANTASAN itu ?
Seperti dalam falsafah hidup masyarakat Jawa, bahwa urip iku kudu murup. Artinya, dalam menjalani kehidupan di dunia ini haruslah “menyala”, sehingga cahayanya dapat menerangi sekitarnya. “Menyala” maksudnya kita mampu berperan memberikan konstribusi dalam kelangsungan hidup pada seluruh makhluk. Diri kita diumpamakan lampu. Lampu tidak akan berguna jika tidak menyalakan sinarnya sebagai penerang bagi lingkungannya, yakni menerangi seluruh mahluk hidup dengan cahaya kehidupan. Cahaya kehidupan itu bukan sekedar rutinitas ritual sehari-hari, melainkan amal kebaikan yang nyata kita lakukan untuk seluruh kehidupan, dilakukan setiap saat dengan penuh kasih sayang dan keikhlasan. Amal kebaikan dari tahap dan lingkup paling kecil. Sering menolong, dan membantu sesama dan tidak pilih kasih. Selalu memberikan kemudahan dan jalan hidup kepada sesama manusia tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan. Di situlah kewajaran sebagai seorang pemimpin agar dapat memberikan anugrah kemakmuran dan kesejahteraan kepada rakyatnya. Semakin intens seseorang menjadi “murup”, akan semakin tinggi pula asas kepantasannya.
Sebaliknya, jika kehidupan seseorang tidak “murup”, artinya hidup seseorang hanya akan menjadi sumber kegelapan, perilakunya menimbulkan kebinasaan, sikapnya merusak dan merugikan sendi-sendi kehidupan, menghancurkan lingkungan alam, mengganggu ketentraman dan kedamaian masyarakat. Segala macam penyakit hati, iri, dengki, amarah merupakan sumber malapetaka bagi seluruh kehidupan di planet bumi ini.
Untuk itu, seorang pemimpin haruslah “murup”, buktikan terlebih dahulu agar hidupnya berguna untuk seluruh kehidupan bangsa manusia, tumbuhan, dan binatang. Mulai dari lingkup terkecil, keluarga, sampai masyarakat luas. Maka asas kepantasan akan dapat terpenuhi, dan seseorang barulah akan pantas menjadi pemimpin yang membawa berkah dan anugrah bagi daerah yang dipimpinnya.
Seseorang (calon pemimpin) yang telah mencapai level tertentu asas kepantasan akan dinilai oleh hukum tata keseimbangan alam sebagai orang yang layak menerima wahyu kepemimpinan. Wahyu kepemimpinan berbeda setiap level kepemimpinan. Wahyu kepemimpinan untuk Lurah atau Kepala Desa lazimnya disebut “ndaru” atau pulung. Wujudnya cahaya putih perak kemilauan, dengan ukuran diameter antara 50-100 cm. “Ndaru” bisa dilihat dengan mata wadag, jatuh di atas rumah orang yang akan terpilih menjadi Lurah. Jatuhnya pulung itu biasanya terjadi malam sebelum pemilihan lurah.

Sapa sing gawe urup marang liyan, ateges gawe murup awake dewe

Artinya : siapa yang bisa menjadi penerang bagi orang lain, itu merupakan tindakan menyalakan “pelita” bagi dirinya sendiri. Kalimat sederhana di atas merupakan ayat-ayat (rumus hidup) yang tersurat di dalam hukum alam. Bagi siapapun yang dengan tulus selalu memberikan konstribusi bagi kelangsungan hidup orang lain atau kepada seluruh makhluk, perbuatan itu merupakan amal kebaikan yang akan berguna untuk membangun kelangsungan hidup bagi dirinya sendiri. Senada dengan rumus bahwa,”kebaikan yang kita lakukan kepada orang lain akan kembali kepada diri kita sendiri”. Maka sebagai tanggungjawabnya bilamana kita berharap agar hidup kita tetap berlangsung sesuai yang diharapkan, kita harus mau dan mampu membuat diri kita berguna bagi kelangsungan hidup seluruh kehidupan di lingkungan kita.

Apakah “Asas Kepantasan” dapat dimanipulasi ?
Asas kepantasan dapat dimanuipulasi dengan cara menyalahgunakan kekuatan uang dan kekuasaan. Orang yang tidak pantas menjadi pemimpin bisa saja terpilih melalui cara yang kotor, misalnya membeli suara, menyuap KPU, jaksa, mencurangi lawan dst. Pendek kata, uang dan kekuasaan dapat untuk membeli kekuasaan. Akan tetapi jabatan yang diperoleh melalui cara kotor demikian itu resikonya sangat besar. Jabatannya tidak akan menjadi berkah untuk dirinya maupun untuk masyarakat yang dipimpinnya. Sebaliknya akan menjadi malapetaka untuk dirinya bahkan bisa juga menimpa masyarakat yang dipimpinanya. Itu tindakan melawan hukum alam, cepat atau lambat, langsung atau tidak langsung, hukum timbal balik (sebab akibat) pasti terjadi. Gambaran di atas merupakan paradoks dari keadaan orang yang menerima wahyu, karena dinilai oleh hukum tata keseimbangan sudah memiliki asas kepantasan, tentu saja dia sebagai orang yang selaras dan harmonis dengan hukum alam.
Rahayu Sagung Titah Dumadi.

─╬─ Ҳҳ--GANKSHTE22--Ҳҳ ─╬─


MENCOBA MELURUSKAN KONSEP BULAN SUCI RAMADHAN



11oalviNv
Tulisan ini dalam rangka usaha saya untuk selalu menggurui dan menegur terhadap diri saya sendiri.  Semua ini saya lakukan, karena saya pribadi selalu saja merasa bodoh yang teramat sangat. Semakin banyak belajar malah semakin banyak yang tidak saya ketahui. Mohon kiranya masukan dan saran pemikiran dari anda para pembaca yang budiman untuk memberikan saran, tanggapan dan tentu saja kritikan yang membangun. Dan semoga bukan cacian yang datang.
Tidak lupa saya haturkan kepada seluruh saudara-saudaraku khususnya bagi yang muslim, saya mengucapkan selamat menunaikan puasa bulan suci  Ramadhan, dan selamat menunaikan segala aktifitas khusus bulan Ramadhan. Mohon maaf atas segala kekhilafan yang dapat saya sadari maupun yang tidak saya sadari selama ini.

EMPAT DIMENSI SUCI
Memasuki bulan suci Ramadhan, diawali dengan “siraman” mensucikan raga dengan air (sembah raga), sekaligus sebagai simbol pentingnya mensucikan pikiran dan hati (sembah kalbu), dan mensucikan batin  (sembah jiwa) dari segala hal yang dapat mengotorinya, yang membuat POLUSI dalam hati, pikiran, dan batin kita. Dengan target utama yakni hakekat hidup yang suci (sembah rahsa).

MASA TRAINING
Umat muslim memiliki jadwal untuk memusatkan pelatihan diri selama sebulan. Hanya satu bulan dalam setahun. Yakni pada bulan suci Ramadhan yang pada hakekatnya adalah saat di mana menjadi konsentrasi pelatihan diri selama bulan. Dengan KESADARAN bahwa bulan suci hanyalah sebagai pemusatan PELATIHAN DIRI DALAM BERIBADAH, justru akan bermanfaat besar menjadikan sikap kita semakin ELING dan WASPADA, bahwa beribadah yang sejatinya adalah dalam praktek kehidupan sehari-hari setelah bulan Ramadhan berlalu.

ASUMSI TERBALIK
Boleh saja berasumsi bahwa bulan suci merupakan puncak ibadah. Namun kenyataannya asumsi itu banyak membuat umat jadi TERLENA. Setelah bulan suci usai,  ibarat seorang napi yang baru saja lepas dari penjara. Berbaur dalam kehidupan masyarakat, menjalani “laku” perbuatan sehari-hari dengan cara menggasak sana-sini apapun yang ditemui dan diingininya. Hanya karena sikap mentang-mentang merasa sudah bukan bulan suci lagi, lantas dianggapnya tidak lagi menjadi sakral. Kembali mengumbar nafsu golek menange dewe, golek butuhe dewe, golek benere dewe.

BULAN SUCI YANG SESUNGGUHNYA
Bagi saya pribadi, bulan puasa tidak lain sebagai pemusatan pelatihan diri. Saya umpamakan sebagai gathotkaca yang ingin mbabar jati diri harus melewati “tapa brata” dengan tapa kungkum direndam di dalam panasnya kawah candradimuka terlebih dahulu. Sang Gathotkaca tidak pernah BERHARAP PAHALA manakala menjalani tapa kungkum (berendam diri dalam air) di dalam kawah candradimuka yang mendidih itu. Apa yang ia harapkan hanyalah mencapai kesadaran diri yang tinggi (highest consciousness). Kesadaran yang tinggi diperlukan sebagai BEKAL dalam menjalani perBERIBADATan yang sesungguhnya. Yakni menjalani kehidupan habluminannas setelah bulan suci usai. Mempraktekan hasil latihan dan gemblengan selama sebulan merupakan hal yang lebih utama. Tanpa adanya keberhasilan dalam mempraktekan hasil dalam kehidupan sehari-hari selama setahun, apa yang dicapai selama sebulan hanyalah sia-sia belaka.

POLA PIKIR YANG ANEH
Logika dan konsep berfikir sang Gathotkaca sangat ideal, manakala berfikir bahwa habluminannas atau beribadah kepada sesama manusia dan seluruh makhluk ciptaan Hyang Widhi beserta seluruh alam semesta ini merupakan JEMBATAN utama menuju habluminallah. Sang Gatotkaca tidak tekecoh oleh mind set sebaliknya, bahwa habluminallah sebagai sarana mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya. Umat yang merasa sudah berhasil mengumpulkan pahala yang banyak sehingga membuat lupa diri, timbul sikap mentang-mentang gemar melecehkan dan menuduh orang lain sebagai kafir dan fasikun. Kesombongan itu hanya karena dirinya sudah merasa mendapatkan malam lailatul qadar sebanyak 7 kali (7000 bulan) yang kurang lebih diumpamakan sebagai sembahyang selama 560 tahun. Angka pahala itu tentu sudah lebih dari cukup, malah sisa banyak sekali jika dibanding umur manusia. Yah, sang Gathotkaca merasa logika demikian sebagai sebuah kejahiliahan tersembunyi dan sangat halus, sehingga membuat sang Gathotkaca sadar diri perlu merubah mind set yang aneh itu.

SIKAP “aneh” si TOGOG
Sang TOGOG menambah kritikan lagi, togog menganggap aneh kenapa jalma manusia sibuk menghitung-hitung pahala. Padahal apa yang dilakoninya hanyalah sebagai sarana latihan atau dalam rangka menjalani sekolah. Togog menyuruh mBilung mawas diri dan melakukan instropeksi mendalam.  Disuruhnya mBilung membayangkan, seandainya kita bersekolah, bukankah harus bayar ke pihak pengelola sekolahan ? Kenapa logikamu justru terbalik Lung ?, kamu malah minta dibayar atau diupah dari pihak sekolah. Wah, betul-betul aneh kamu ya…??! sergah Togog kepada mBilung. Togog masih menyumpah-serapahing kegoblokan Togog….,”Enggak tahu diuntung, nggak tahu diri kamu Lung ! Pantas saja kalau orang-orang seperti dirimu itu akan kaget manakala ajal telah menjemput ! Ternyata kesibukannya menghitung-hitung pahala sewaktu hidup tidak berguna sama sekali. Justru membuat dirimu terlena dan tidak eling, tidak waspada Lung. mBilung sejenak mengernyitkan dahi lalu berguman,”…Ya, ya, aku pikir yang aneh bukan alam pikirmu Gog..!, melainkan pikiran kebanyakan orang seperti aku selama ini. Hati-hati kamu lho Lung…!! sahut Petruk kanthong bolong yang tiba-tiba nongol ingin menantang mBilung berkelahi seperti adat kebiasaan mereka berdua jika bertemu. Kata Petruk dengan sok tahu, “katanya lebih banyak umat yang akan masuk neraka. Jangan-jangan gara-gara masalah logika pikir yang aneh seperti alam pikirannya si mBilung… Lantas yang bener mungkin memang alam pikirannya si Togog. Ya, paling tidak Togog bisa berperilaku dan ambil sikap lebih hati-hati, eling dan waspada dari pada sikap si mBilung yang sok PeDe, sok tahu juga, dan besar kepala merasa sudah tak nggendong kemana-mana pahala segede rumah.

PANDANGAN JAWANISME
Kegiatan di bulan suci ramadhan bukanlah klimaksnya rangkaian “peribadatan” selama 11 bulan sebelumnya. Sebaliknya, bulan Puasa merupakan PERSIAPAN diri menuju garis start (starting point). Preparing to the starting point. Going to the real game. Sebaliknya di mana sebagian orang  menganggap bulan ramadhan sebagai PEMUNCAK segala “peribadatan”. Mind set itu akan beresiko besar membuat diri menjadi lupa, bahwa perjuangan yang sesungguhnya baru akan dimulai. Adalah sebuah teori Gossen di mana setelah klimaks pasti akan terjadi anti klimaks. Klimaks merupakan posisi di mana nilai kepuasan mencapai titik jenuh. Yang kemudian nilai kepuasan akan meluncur ke bawah bagaikan roller coaster sebagai gerak anti klimaks menuju kehambaran dan kehampaan lagi. Maka dalam konsep tradisi Jawa, justru klimaks dicapai pada saat bulan arwah, atau sasi Ruwah, satu bulan sebelum bulan puasa. Di mana dipuncaki dengan berbagai acara misalnya bersih bumi, ruwat bumi, meliputi bersih-bersih desa, sungai, hutan, sawah dsb. Ada dalam rangkaian tradisi nyadran, dengan acara menghaturkan sembah bekti dan mendoakan kepada para arwah leluhur masing-masing dengan harapan agar beliau-beliau mendapat tempat kemuliaan di alam keabadian.   Semua itu dilakukan sebagai langkah konkrit mensyukuri nikmat dan anugerah Tuhan yang Mahakuasa serta tanda terimakasih yang sebesarnya kepada generasi pendahulu yang telah berhasil menjaga kelestarian alam sehingga dapat mewariskan harta karun berupa desa, sungai, hutan, laut, alam semesta dalam keadaan yang baik dan tidak rusak. Setelah klimaks dipuncaki pada bulan Ruwah, bulan selanjutnya, umat mulai menata diri, mawas diri, melakukan evaluasi dan kontemplasi atas apa yang bisa dilakukan selama ini. Coba bandingkan dengan ulah manusia sok suci dan sok tahu di zaman sekarang ini ? adoh sungsate…!!

BULAN UNTUK BERPESTA PORA !
Siapa pun orangnya yang merasa sukses menjalani gemblengan selama bulan puasa, perasaan itu hanyalah sekedar penilaian subyektif terhadap diri sendiri. Bahkan saya menawarkan cara paling sederhana mengukur tingkat keberhasilan anda menjalani ibadah bulan suci ramadhan. Timbanglah berat badan anda pada saat memasuki bulan ramadhan. Setelah itu, timbanglah lagi pada saat sore hari setelah lebaran hari raya Iedul Fitri. Jika berat badan anda mengalami kenaikan, hendaknya tidak perlu GR bahwa diri telah siiip dan sukses menjalani gemblengan diri di bulan suci. Apakah mayoritas umat Islam di Indonesia sukses menjalani ibadah di bulan suci ? Saya sangat meragukan..!  Coba anda kontemplasi sejenak, bukankah harga sembako melambung tinggi setiap memasuki bulan suci Ramadhan dari tahun ke tahun, bahkan mengalami kenaikan harga hingga 50%. Hebat ! Artinya apa semua itu ? masyarakat yang sedang menjalani ibadah puasa, justru melakukan stokisasi, penumpukan cadangan sembako, bahkan sampai mengada-ada melebihi kebutuhan normal sehari-hari pada bulan-bulan biasa. Tiak hanya itu saja, pelaku puasa menuntut menu konsumsi makanan yang jauh lebih mewah dibanding hari-hari biasa. Sehingga permintaan kebutuhan sembako meningkat tajam, sementara jumlah barang tetap atau jika ada tambahan stok pun tidak signifikan dengan kenaikan permintaan barang-barang sembako, sehingga mengakibatkan lonjakan harga yang relatif besar.

Apakah dengan kondisi demikian, anda masih tidak merasa malu mengatakan,”….kita baru prihatin, kita sedang latihan mengendalikan nafsu, kita sedang menjalani ibadah suci !!. Apakah kesucian identik dengan pemborosan dan kemewahan yang berlebihan ? Marilah kita rubah MIND SET “hebat” tersebut dengan meningkatkan kesadaran jati diri, eling dan waspada.  Mungkin fenomena itu merupakan gambaran perilaku massal sok suci, sok soleh solikhah yang menjangkiti umat tanpa disadari. Adalah kenyataan, bahwa bulan ramadhan merupakan bulan berpesta, bahkan seolah bulan di mana umat mendapat legitimasi untuk berbuat secara berlebihan.

─╬─ Ҳҳ--GANKSHTE22--Ҳҳ ─╬─

PERANG BHARATAYUDHA


NAFSU PALING MENGHANCURKAN

PRABU DRUPADA
d15_drupada_solo2
PRABU DRUPADA yang waktu mudanya bernama Arya Sucitra, adalah putra Arya Dupara dari Hargajambangan, dan merupakan turunan ke tujuh dari Bathara Brahma. Arya Sucitra bersaudara sepupu dengan Bambang Kumbayana/Resi Durna dan menjadi saudara seperguruan sama-sama berguru pada Resi Baratmadya. Untuk mencari pengalaman hidup, Arya Sucitra pergi meninggalkan Hargajembangan, mengabdikan diri ke negara Astina kehadapan Prabu Pandudewanata. Arya Sucitra menekuni seluk beluk tata kenegaraan dan tata pemerintahan. Karena kepatuhan dan kebaktiannya kepada negara, oleh Prabu Pandu ia di jodohkan/dikawinkan dengan Dewi Gandawati, putri sulung Prabu Gandabayu dengan Dewi Gandarini dari negara Pancala. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh tiga orang putra masing-masing bernama; Dewi Drupadi, Dewi Srikandi dan Arya Drestadyumna. Ketika Prabu Gandabayu mangkat, dan berputra mahkota Arya Gandamana menolak menjadi raja, Arya Sucitra dinobatkan menjadi raja Pancala dengan gelar Prabu Drupada. Dalam masa kekuasaanya, Prabu Drupada berselisih dengan Resi Durna, dan separo dari wilayah negara Pancala direbut secara paksa melalui peperangan oleh Resi Durna dengan bantuan anak-anak Pandawa dan Kurawa. Di dalam perang besar Bharatayuda, Prabu Drupada tampil sebagai senapati perang Pandawa. Ia gugur melawan Resi Durna terkena panah Cundamanik.


RESI DURNA

d20_durna_yogya2
RESI DURNA yang waktu mudanya bernama Bambang Kumbayana adalah putra Resi Baratmadya dari Hargajembangan dengan Dewi Kumbini. Resi Durna mempunyai saudara seayah seibu bernama: Arya Kumbayaka dan Dewi Kumbayani. Resi Durna berwatak; tinggi hati, sombong, congkak, bengis, banyak bicaranya, tetapi kecakapan, kecerdikan, kepandaian dan kesaktiannnya luar biasa serta sangat mahir dalam siasat perang. Karena kesaktian dan kemahirannya dalam olah keprajuritan, Resi Durna dipercaya menjadi guru anak-anak Pandawa dan Kurawa. Resi Durna mempunyai pusaka sakti berwujud keris bernama Cundamanik dan panah Sangkali (diberikan kepada Arjuna). Resi Durna menikah dengan Dewi Krepi, putri Prabu Purungaji, raja negara Tempuru, dan memperoleh seorang putra bernama Bambang Aswatama. Resi Durna berhasil mendirikan padepokan Sokalima setelah berhasil merebut hampir setengah wilayah negara Pancala dari kekuasaan Prabu Drupada. Dalam peran Bharatayuda Resi Durna diangkat menjadi Senapati Agung Kurawa, setelah gugurnya Resi Bisma. Resi Durna sangat mahir dalam siasat perang dan selalu tepat menentukan gelar perang. Resi Durna gugur di medan pertempuran oleh tebasan pedang Drestajumena, putra Prabu Drupada, yang memenggal putus kepalanya. Konon kematian Resi Durna akibat dendam Prabu Ekalaya raja negara Paranggelung yang arwahnya menyatu dalam tubuh Drestajumena.

Pelajaran Berharga ;
  1. Sapa sing nggawe mesthi nganggo”, siapa menanam mengetam ngundhuh wohing pakarti”. Perbuatan jahat pada orang lain akan menjadi bumerang, kembali membuat malapetaka pada diri sendiri. Tampaknya nukilan dari falsafah hidup Kejawen ini merupakan rumus alam (baca; kodrat alam/kodrat Tuhan). Bagaimanapun Durna sudah pernah merebut separoh wilayah kekuasaan dan membunuh Prabu Drupada. Maka kematian Resi Durna berada di tangan sang Drestajumena yakni putra Prabu Drupada sendiri.   Sebenarnya Drestajumena secara kalkulasi tidak akan mungkin mengalahkan Resi Durna, karena kesaktiannya belum ada apa-apanya jika dibanding Resi Durna. Namun Hyang Widhi telah memenuhi rumus “sapa nggawe nganggo dan ngunduh wohing pakarti” apapun jalannya Resi Durna mati di tangan Drestajumena setelah tubuhnya dirasuki roh Prabu Ekalaya. Sudah menjadi kodrat alam, malapetaka (wohing pakarti) datang menimpa diri sendiri, tidak mesti dari pihak korban atau orang yang dijahati, namun bisa datang dari pihak lainnya lagi. 
  2. Resi Durna sebagai figur yang memiliki watak dualisme, atau berkepribadian ganda. Di satu sisi ia membuat huru-hara, di sisi lain mendidik para kesatria Pandawa dari tlatah kebenaran. Namun ia akhirnya mati “ngunduh wohing pakarti” alias karena ulahnya sendiri.
  3. Ilmu ibarat pisau bermata dua, dapat dimanfaatkan untuk kebaikan maupun kejahatan tergantung manusianya.
  4. Resi Durna dengan Prabu Drupada adalah saudara sepupu yang dahulu bernaung dalam satu perguruan, namun Prabu Drupada memanfaatkan ilmunya untuk kebaikan (amr ma’ruf nahi mungkar) sementara Resi Durna lebih banyak memanfaatkannya untuk keburukan dan membela kekuatan jahat.
  5. Dalam peperangan fisik semisal Perang Bharata Yudha, dalam konteks riil ambil contoh antara Yahudi dan Palestina, merupakan perang saudara yang memperebutkan wilayah atau daerah kekuasaan sebagaimana dalam cerita perang Baratayudha antara senopati perang Drupada melawan senopati perang Durna.
  6. Sebagai peringatan kepada umat manusia untuk berhati-hati terhadap 3 macam nafsu negatif paling berbahaya yang dapat menghancurkan hubungan tali persaudaraan baik dalam hubungan internal keluarga, pertemanan atau pergaulan,  berbangsa dan bernegara yakni ;  nafsu cari benarnya sendiri, nafsu keinginan berkuasa, dan nafsu penguasaan harta (warisan). Terutama terhadap orang-orang terdekat masih saudara sendiri. Jika terjadi perang (saudara) akan menjadi perang yang sangat keji dan kejam. Terlebih lagi perang tersebut diwarnai dalih membela kebenaran, antara kekuatan “putih” dan “hitam. Akibatnya adalah kehancuran dahsyat. Semoga contoh di atas dapat meningkatkan kesadaran kita semua, untuk tetap bersatu dalam tali rasa yang satu, satu kebangsaan, satu bumi pertiwi, satu bahasa. Sehingga bangsa ini terhindar dari kehancuran, sebaliknya meraih kejayaannya kembali. Kita dapat mengambil contoh peristiwa holocaus, etnis cleansing, pembantaian massal di Kamboja, peristiwa G 30 S, Yahudi-Palestina

─╬─ Ҳҳ--GANKSHTE22--Ҳҳ ─╬─

Minggu, 20 Juli 2014

Semboyan Wali Songo





Semboyan Para Wali

Para Walisongo mempunyai semboyan yang terekam hingga saat ini adalah :
1. Ngluruk Tanpo Wadyo Bolo / Tanpo pasukan
Berdakwah dan berkeliling kedaerah lain tanpa membawa pasukan.

2. Mabur Tanpo Lar/Terbang tanpa Sayap
Pergi kedaerah nan jauh walaupun tanpa sebab yang nampak.

3. Mletik Tanpo Sutang/Meloncat Tanpa Kaki
Pergi kedaerah yang sulit dijangkau seperti gunung-gunung juga tanpa sebab yang kelihatan.

4. Senjoto Kalimosodo
Kemana-mana hanya membawa kebesaran Allah SWT. (Kalimosodo : Kalimat Shahadat)

5. Digdoyo Tanpo Aji
Walaupun dimarahi, diusir, dicaci maki bahkan dilukai fisik dan mentalnya namun mereka seakan-akan orang yang tidak mempan diterjang bermacam-macam senjata.

6. Perang Tanpo tanding
Dalam memerangi nafsunya sendiri dan mengajak orang lain supaya memerangi nafsunya. Tidak pernah berdebat, bertengkar atau tidak ada yang menandingi cara kerja dan hasil kerja daripada mereka ini.

7. Menang Tanpo Ngesorake/Merendahkan
Mereka ini walaupun dengan orang yang senang, membenci, mencibir, dan lain-lain akan tetap mengajak dan akhirnya yang diajak bisa mengikuti usaha agama dan tidak merendahkan, mengkritik dan membanding-bandingkan, mencela orang lain bahkan tetap melihat kebaikannya.

8. Mulyo Tanpo Punggowo
Dimulyakan, disambut, dihargai, diberi hadiah, diperhatikan, walaupun mereka sebelumnya bukan orang alim ulama, bukan pejabat, bukan sarjana ahli tetapi da’I yang menjadikan dakwah maksud dan tujuan.

9. Sugih Tanpo Bondo
Mereka akan merasa kaya dalam hatinya. Keinginan bisa kesampaian terutama keinginan menghidupkan sunnah Nabi, bisa terbang kesana kemari dan keliling dunia melebihi orang terkaya didunia.

─╬─ Ҳҳ--GANKSHTE22--Ҳҳ ─╬─


Syair Pepiling Wali Songo


Ana Syi'ir iki aku arep matur
Asmane wall sanga ingkang mashur ...  
Maulana Malik Ibrahim syeh Maghribi
Iya iku Sunan Gresik aja lali
Raden Rahmat Sunan Ampel Jawa Timur
Turun sangka purl Cempa ingkang mashur ...
Mandum Ibrahim putrane Raden Rahmad
Sunan Bonang sedereke Sunan Derajad
Sunan Derajad asma Raden Syarifudin
Sunan Giri asma Raden Ainul-Yakin ..
Syeh Ja'far Shadiq ya iku Sunan* kudus
Da'wah agama kanti niat kang Lulus
Raden Syahid iku Sunan Kalijaga
Putrane bupati Tuban Wilatikta ...
Sunan Murya asma Raden Umar Said
Putra Sunan Kalijaga Raden Syahid
Sunan Gunung Jati Raden Fatahilah
Gigih berjuang ngusir penjajah ..
Kang kasebut iki mashur Wali Sanga
Perintis dakwah Islam ing tanah Jawa

─╬─ Ҳҳ--GANKSHTE22--Ҳҳ ─╬─


Lir Ilir (jawa lirik & Syair).


Lir ilir lir ilir tanduré wis sumilir

Tak ijo royo – royo taksengguh temantèn anyar

Bocah angon bocah angon pènèkna blimbing kuwi

Lunyu – lunyu pènèkna kanggo mbasuh dodotira

Dodotira dodotira kumitir bedhahing pinggir

Dondomona jlumatana kanggo séba mengko soré

Mumpung padhang rembulané

Mumpung jembar kalangané

Ya suraka surak horé

Lagu ini konon kabarnya merupakan ciptaan sunan Kalijaga, ada juga yang berpendapat hasil karya sunan Bonang, lirik tembang atau lagu ini dulunya diciptakan untuk mediasi dan wahana dakwah Islam oléh para Walisanga, pendekatan budaya seperti ini dilakukan karena masyarakat Jawa kala itu masih kuat dengan tradisi Hindu. Maka untuk menyampaikan ajaran Islam di tengah – tengah masyarakat Jawa, maka dirasa perlu untuk mendekatinya melalui budaya salah satunya adalah melalui bahasa Jawa itu sendiri. Sebenarnya yang ingin disampaikan dalam lirik lagu tersebut adalah ;

   1. Memberitahukan bahwa adanya kabar baik, yang sumilir seperti tunas padi dipematang sawah, sebuah harapan baru.
   2. Yang terlihat begitu memikat indah, yang layak untuk disongsong selayaknya pengantin baru (datangnya wahyu ilahi) melalui nabi Muhammad.
   3. Bocah angon sebagai analogi dan perumpamaan hati para manusia itu sendiri.
   4. Selicin dan sesusah apapun hendaknya ikut memanjat (meraih) blimbing memiliki lima sisi yang menggambarkan 5 rukun Islam. Untuk membasuh dan sarana penyucian diri dari segala dosa.
   5. Karena pakaian (akhlak) manusia sudah mulai compang camping tidak karuan.
   6. Oleh karena itu hendaknya disucikan dan dibersihkan dengan Sahadat, Salat, Puasa, Zakat dan Haji, yang intinya mengajak manusia untuk ber ISLAM.
   7. Mumpung masih ada kesempatan, mumpung hayat masih dikandung badan ayo beramai – ramai menerima ajaran ISLAM.

Secara garis besar bisa ditarik kesimpulan begini :

Lirik ini mengabarkan dan mengajak kepada masyarakat Jawa tentang berita gembira telah datangnya nabi terakhir yaitu Muhammad dangan membawa ajaran tauhid ISLAM, yang siapapun berhak dan bisa mengimaninya tanpa ada perbedaan kasta, kedudukan, kekayaan, karena dalam Islam setiap manusia sama di hadapan Allah hanya ketaqwaan lah yang membedakannya, selagi manusia masih bernafas maka pintu hidayah dan pintu tobat akan selalu terbuka.


─╬─ Ҳҳ--GANKSHTE22--Ҳҳ ─╬─

Syair Sluku Sluku Bathok (Jawa)

─╬─ Ҳҳ--GANKSHTE22--Ҳҳ ─╬─



Sluku-sluku bathok
Bathoke ela-elo
Si Rama menyang Solo
Oleh-olehe payung mutho

Pak jenthit lolo lo bah,
Yen obah medeni bocah
Yen urip golekko dhuwit

[makna]
Sluku-sluku bathok, bathok (kepala) kita perlu beristirahat untuk memaksimalkan kemampuannya. Kalo diforsir terus bisa aus, stress, hang, macet daya pikirnya.
Bathoke ela-elo, dengan cara berdzikir (ela-elo = Laa Ilaaha Ilallah), mengingat Allah akan mengendurkan syaraf neuron di otak.
Si Rama menyang Solo, siram (mandilah, bersuci) menyang (menuju) Solo (Sholat). Lalu bersuci dan dirikanlah sholat.
Oleh-olehe payung mutho, yang sholat akan mendapatkan perlindungan (payung) dari Allah, Tuhan kita. Kalo Allah sudah melindungi, tak ada satupun di dunia ini yang kuasa menyakiti kita. tak satupun.
Pak jenthit lolo lo bah, kematian itu datangnya tiba-tiba, tak ada yang tahu. Tak bisa dimajukan atau dimundurkan walau sesaat. Sehingga saat kita hidup, kita harus senantiasa bersiap dan waspada. Selalu mengumpulkan amal kebaikan sebagai bekal untuk dibawa mati.
Yen obah medeni bocah. Saat kematian datang, semua sudah terlambat. Kesempatan beramal hilang. Banyak ingin minta dihidupkan tapi Allah tidak mengijinkan. Jika mayat hidup lagi maka bentuknya menakutkan dan mudharat-nya akan lebih besar.
Yen urip golekko dhuwit. Kesempatan terbaik untuk berkarya dan beramal adalah saat ini. Saat masih hidup. Pengin kaya, pengin membantu orang lain, pengin membahagiakan orang tua: sekaranglah saatnya. Ketika uang dan harta benda masih bisa menyumbang bagi tegaknya agama Allah. Sebelum terlambat, sebelum segala pintu kesempatan tertutup.

Pujian Kereta Jawa



Ayo kabèh para manungsa,
Mumpung urip ning alam donya,
Mbok ya padha-padha èlinga,
Limang wektu ndang lakonana.

Èlingana yèn wayah panggilan,
Yèn wis budhal (o)ra kena wakilan,
Disalini nganggo kain putih,
Yèn wis budhal ora bisa mulih.

Tumpakané Kerèta Jawa,
Rodha papat rupa manungsa,
Jujugané omah guwa,
Tanpa bantal tanpa k(e)lasa.

Omahé (o)ra ana lawangé,
Turu dhéwé (o)ra ana kancané.
Nyawané wis m(e)layang,
Ragané kecemplung juglang,

Ditutupi anjang-anjang,
Diurug disawur kembang.
Tangga-tangga padha nyawang,
Padha nangis kaya wong nembang,

─╬─ Ҳҳ--GANKSHTE22--Ҳҳ ─╬─


Pujian Sekarat Pati


Ojo siro banget-banget
Nggonmu bungah ono ndonyo
Malaikat juru pati
lirak-lirik maring siro

Nggone nglirik Malaikat
Arep njabut nyowo siro
Yen wes teko titi mongso
Kudu budal ra keno semoyo

Larane sekarat pati
Sewu loro dadi siji
Mergo urip podo lali
Maring tuntunan Agami
Ninggal Sholat ninggal ngaji
Mong ma`siat seng dilakuni
Mulo urip seng ati-ati
Tembe mburi ben ora rugi

Sopo wonge gelem iman,
Taat miring dawuh Pengeran
Uripe tukun semahyang
Ora lali nderes Al-Qur`an

Rino wengi seneng wiridan
Amal sunnah dadi pakulan
Lamun mati sekarate –gampang.
Ora kroso babar pisan.

─╬─ Ҳҳ--GANKSHTE22--Ҳҳ ─╬─


Alas Ketonggo (part 2).





Mengapa alas ketonggo menjadi sinandi pencerahan rohani dan jasmani beserta kejayaan umat manusia, di dalam pengetahuan luhur budaya Jawa?

1.Alas walaupun disebut hutan yang oleh
beragam makhluk hidup seperti
pepohonan, hehewanan serta
makhluk halus yang berasal dari
arwah-arwah para leluhur masa
silam, sebagai ekspresi fenomena
hawa dan nafsu kita semua, yang
liar dan terkendali.

2.Sinandi alas ketonggo sebagai sinandi
kehidupan jagat cilik (hawa dan
nafsu-kita) dan jagat gedhe (alam
semesta).

3.Alas ketonggo dalam pengertian jagat
cilik adalah fenomena kehidupan
kita, yang pada dasarnya sulit
dikendalikan tetapi harus mampu
kita kendalikan. Sedangkan alas
ketonggo dalam arti makro atau
dalam pengertian nyata, seperti
Kraton beserta Raja-nya sebagai
sentral budaya, tempat-tempat yang
dimitoskan atau disakralkan dalam
kegiatan peziarahan. Arti pesan yang
mendalam bahwa kita tidak boleh
meninggalkan budaya dan sejarah
masa lalu.

4.Alas Ketonggo tempat arwah-arwah
para leluhur yang telah
meninggalkan dunia puluhan hingga
ratusan tahun, namun belum
berpulang dihadirat Tuhan, dan
masih menyimpan rapi di dalam
tubuh halus maniknya.



5.Banyak pengetahuan masa silam yang
sebagai simbol jati diri dan identitas
bangsa-mu di Alas Ketonggo. Oleh
itu, kehidupan para arwah leluhur
masih aristokrat, sesuai peradaban
budayanya lalu.


6.Peradaban budaya beserta nilai-nilai
luhur masa silamnya menyimpan
potensi kekuatan identitas dan jati
diri bangsa-mu. Apabila bangsa-mu
ingin jaya dan menjadi terang dunia
harus berpijak pada budaya atau jati
diri dan identitasmu.


7.Jangan melupakan sejarah atau budaya
leluhur-mu, jika melupakan sejarah
dan budaya-mu dari situlah
kelemahan bangsa-mu.


8.Pahamilah sandi Alas Ketonggo, sebab
dialah yang menyimpan sejarah,
rahasia dan kenangan masa lalu
yang membantu dirimu untuk
menemukan jati diri dan
identitasmu.


9.Bukankah bangsamu mengalami krisis
keyakinan dan kepercayaan akan jati
diri dan identitasmu. Artinya
bangsamu telah asing mengenali
potensi dirinya.


10.Bahkan bangsamu tidak mengetahui
dan menyadari kekrisisannya. Itulah
bencana akibat meninggalkan pilar
dan pondasi budayanya.


11.Negara dan bangsa manapun akan
mengalami kejayaan jika telah
menemukan jati diri dan
identitasnya (budayanya) dan itu
tersimpan dalam sandi Alas
Ketonggo.


12.Walaupun sandi Alas Ketonggo disebut
dan dikatakan mitos bagi
pemahaman modern, tetap mereka
jaya sebagai pusat pemikiran
dikarenakan berangkat dari mitos
atau yang disebut angan-angan,
harapan, cita-cita, impian, dll.


13.Bangsa manapun tidak akan maju dan
jaya jika meninggalkan angan-
angan, harapan, cita-cita, keinginan,
kehendak, harapan, impian yang
kesemuanya adalah simbolmitos.


14.Lihatlah bangsa-bangsa yang telah
jaya, mereka mengawali
kejayaannya dengan kesadaran
kolektif mitosnya di dalam jiwa
pikiran, perasaan, budi dan perilaku
indera jasmaninya atau cipta, rasa
dan karsanya.


15.Alas Ketonggo sandi untuk menggali
jati diri dan identitasnya sebagai
awal mengumpulkan kekuatan
untuk terbebaskan dari
kesengsaraan, derita,
ketidaktentraman dan
ketidakdamaian, ketidakmakmuran,
kemiskinan dan belenggu bangsa-
mu.


16.Bangsa yang telah jaya menggali
budaya asalnya sendiri melalui
prosesi sinandi alas ketonggo
dengan menghormati perjuangan
leluhurnya.


17.Bagaimana bangsamu atau dirimu
akan mendapatkan pencerahan dan
kemerdekaan hidup bagi bangsamu,
jika dirimu saling berjuang demi
kepentingan dan kekuasaan
kelompok-mu.


18.Salah satu nasehat sinandi Alas
Ketonggo,“Janganlah energi jiwa
hawa dan nafsumu saling
bertubrukan menyalakan api
kesengsaraan yang menambah
dirimu atau bangsamu saling
terbelenggu dan membelenggu”.


19.Jika energi jiwa hawa dan nafsumu
saling bertubrukan atau bertabrakan
maka dirimu akan saling memiliki
kebingungan, saling memiliki
kekhawatiran, saling memiliki
ketakutan, sekalipun hal itu
terungkap atau tidak terungkap.


20.Masuklah ke alam alas ketonggo,
disitulah banyak pengetahuan yang
mengisi kekurangan dan
kelemahanmu, agar dirimu tidak
mudah bingung, takut, khawatir,
menderita dan sengsara, dll.


21.Jika dirimu mampu membuka sinandi
Alas Ketonggo, ambillah potensi
lebihnya dan jadikan kelemahannya
menjadi hikmah, agar dirimu
trampil menghimpun kekuatan dan
mengerti keinginan dan kehendak
energi hawa dan nafsu untuk
menyelamatkan generasi muda
bangsa-mu.


22.Jika telah mampu membuka sinandi
Alas Ketonggo, para leluhurmu akan
berinteraksi denganmu dan
memberikan pengetahuan yang
memubuat bangsa-mu jaya dan
maju.


23.Memasuki alas ketonggo diperlukan
seni ketrampilan melepaskan
belenggu tubuh jasmani, jika tidak
memiliki hanya akan dapat
kesunyian dan aktivitas kesendirian
tanpa arti dan makna seperti
melamun atau menghayal.


24.Alangkah lebih lengkapnya jika dirimu
yang memiliki kecerdasan akal
jasmani, kemudian memiliki
kecerdasan rohani di dalam pikiran,
perasaan dan budimu, maka
pengetahuan dan ketrampilanmu
akan disebut seimbang.


25.Sungguh keseimbangan diperlukan
jika memasuki alas ketonggo, agar
akal jasmani dipersiapkan agar tidak
mengalami gejolak keterbatasan
dengan kehidupan rohani.

─╬─ Ҳҳ--GANKSHTE22--Ҳҳ ─╬─