Tulisan ini dalam rangka usaha saya untuk selalu menggurui dan menegur terhadap diri saya sendiri. Semua ini saya lakukan, karena saya pribadi selalu saja merasa bodoh yang teramat sangat. Semakin banyak belajar malah semakin banyak yang tidak saya ketahui. Mohon kiranya masukan dan saran pemikiran dari anda para pembaca yang budiman untuk memberikan saran, tanggapan dan tentu saja kritikan yang membangun. Dan semoga bukan cacian yang datang.
Tidak lupa saya haturkan kepada seluruh
saudara-saudaraku khususnya bagi yang muslim, saya mengucapkan selamat menunaikan puasa bulan suci Ramadhan, dan selamat menunaikan segala aktifitas
khusus bulan Ramadhan. Mohon maaf atas segala kekhilafan yang dapat saya
sadari maupun yang tidak saya sadari selama ini.
EMPAT DIMENSI SUCI
Memasuki bulan suci Ramadhan, diawali dengan “siraman” mensucikan raga dengan air (sembah raga), sekaligus sebagai simbol pentingnya mensucikan pikiran dan hati (sembah kalbu), dan mensucikan batin (sembah jiwa)
dari segala hal yang dapat mengotorinya, yang membuat POLUSI dalam
hati, pikiran, dan batin kita. Dengan target utama yakni hakekat hidup
yang suci (sembah rahsa).
MASA TRAINING
Umat muslim memiliki jadwal untuk
memusatkan pelatihan diri selama sebulan. Hanya satu bulan dalam
setahun. Yakni pada bulan suci Ramadhan yang pada hakekatnya adalah saat
di mana menjadi konsentrasi pelatihan diri selama bulan. Dengan
KESADARAN bahwa bulan suci hanyalah sebagai pemusatan PELATIHAN DIRI
DALAM BERIBADAH, justru akan bermanfaat besar menjadikan sikap kita
semakin ELING dan WASPADA, bahwa beribadah yang sejatinya adalah dalam
praktek kehidupan sehari-hari setelah bulan Ramadhan berlalu.
ASUMSI TERBALIK
Boleh saja berasumsi bahwa bulan suci
merupakan puncak ibadah. Namun kenyataannya asumsi itu banyak membuat
umat jadi TERLENA. Setelah bulan suci usai, ibarat seorang napi yang
baru saja lepas dari penjara. Berbaur dalam kehidupan masyarakat,
menjalani “laku” perbuatan sehari-hari dengan cara menggasak
sana-sini apapun yang ditemui dan diingininya. Hanya karena sikap
mentang-mentang merasa sudah bukan bulan suci lagi, lantas dianggapnya
tidak lagi menjadi sakral. Kembali mengumbar nafsu golek menange dewe, golek butuhe dewe, golek benere dewe.
BULAN SUCI YANG SESUNGGUHNYA
Bagi saya pribadi, bulan puasa tidak lain sebagai pemusatan pelatihan diri. Saya umpamakan sebagai gathotkaca yang ingin mbabar jati diri harus melewati “tapa brata” dengan tapa kungkum direndam di dalam panasnya kawah candradimuka terlebih dahulu. Sang Gathotkaca tidak pernah BERHARAP PAHALA manakala menjalani tapa kungkum (berendam diri dalam air) di dalam kawah candradimuka yang mendidih itu. Apa yang ia harapkan hanyalah mencapai kesadaran diri yang tinggi (highest consciousness).
Kesadaran yang tinggi diperlukan sebagai BEKAL dalam menjalani
perBERIBADATan yang sesungguhnya. Yakni menjalani kehidupan
habluminannas setelah bulan suci usai. Mempraktekan hasil latihan dan
gemblengan selama sebulan merupakan hal yang lebih utama. Tanpa adanya
keberhasilan dalam mempraktekan hasil dalam kehidupan sehari-hari selama
setahun, apa yang dicapai selama sebulan hanyalah sia-sia belaka.
POLA PIKIR YANG ANEH
Logika dan konsep berfikir sang Gathotkaca sangat ideal, manakala berfikir bahwa habluminannas
atau beribadah kepada sesama manusia dan seluruh makhluk ciptaan Hyang
Widhi beserta seluruh alam semesta ini merupakan JEMBATAN utama menuju habluminallah. Sang Gatotkaca tidak tekecoh oleh mind set
sebaliknya, bahwa habluminallah sebagai sarana mengumpulkan pahala
sebanyak-banyaknya. Umat yang merasa sudah berhasil mengumpulkan pahala
yang banyak sehingga membuat lupa diri, timbul sikap mentang-mentang
gemar melecehkan dan menuduh orang lain sebagai kafir dan fasikun.
Kesombongan itu hanya karena dirinya sudah merasa mendapatkan malam lailatul qadar
sebanyak 7 kali (7000 bulan) yang kurang lebih diumpamakan sebagai
sembahyang selama 560 tahun. Angka pahala itu tentu sudah lebih dari
cukup, malah sisa banyak sekali jika dibanding umur manusia. Yah, sang
Gathotkaca merasa logika demikian sebagai sebuah kejahiliahan
tersembunyi dan sangat halus, sehingga membuat sang Gathotkaca sadar
diri perlu merubah mind set yang aneh itu.
SIKAP “aneh” si TOGOG
Sang TOGOG menambah kritikan lagi, togog
menganggap aneh kenapa jalma manusia sibuk menghitung-hitung pahala.
Padahal apa yang dilakoninya hanyalah sebagai sarana latihan atau dalam
rangka menjalani sekolah. Togog menyuruh mBilung mawas diri dan melakukan instropeksi mendalam. Disuruhnya mBilung membayangkan, seandainya kita bersekolah, bukankah harus bayar ke pihak pengelola sekolahan ? Kenapa logikamu justru terbalik Lung ?, kamu malah minta dibayar atau diupah dari pihak sekolah. Wah, betul-betul aneh kamu ya…??! sergah Togog kepada mBilung. Togog masih menyumpah-serapahing kegoblokan Togog….,”Enggak tahu diuntung, nggak tahu diri kamu Lung ! Pantas saja kalau orang-orang seperti dirimu itu akan kaget manakala ajal telah menjemput ! Ternyata kesibukannya menghitung-hitung pahala sewaktu hidup tidak berguna sama sekali. Justru membuat dirimu terlena dan tidak eling, tidak waspada Lung. mBilung sejenak mengernyitkan dahi lalu berguman,”…Ya, ya, aku pikir yang aneh bukan alam pikirmu Gog..!, melainkan pikiran kebanyakan orang seperti aku selama ini. Hati-hati kamu lho Lung…!! sahut Petruk kanthong bolong
yang tiba-tiba nongol ingin menantang mBilung berkelahi seperti adat
kebiasaan mereka berdua jika bertemu. Kata Petruk dengan sok tahu, “katanya lebih banyak umat yang akan masuk neraka. Jangan-jangan gara-gara masalah logika pikir yang aneh seperti alam pikirannya si mBilung…
Lantas yang bener mungkin memang alam pikirannya si Togog. Ya, paling
tidak Togog bisa berperilaku dan ambil sikap lebih hati-hati, eling dan waspada dari pada sikap si mBilung yang sok PeDe, sok tahu juga, dan besar kepala merasa sudah tak nggendong kemana-mana pahala segede rumah.
Kegiatan di bulan suci ramadhan bukanlah
klimaksnya rangkaian “peribadatan” selama 11 bulan sebelumnya.
Sebaliknya, bulan Puasa merupakan PERSIAPAN diri menuju garis start (starting point). Preparing to the starting point. Going to the real game. Sebaliknya di mana sebagian orang menganggap bulan ramadhan sebagai PEMUNCAK segala “peribadatan”. Mind set
itu akan beresiko besar membuat diri menjadi lupa, bahwa perjuangan
yang sesungguhnya baru akan dimulai. Adalah sebuah teori Gossen di mana
setelah klimaks pasti akan terjadi anti klimaks. Klimaks merupakan
posisi di mana nilai kepuasan mencapai titik jenuh. Yang kemudian nilai
kepuasan akan meluncur ke bawah bagaikan roller coaster sebagai
gerak anti klimaks menuju kehambaran dan kehampaan lagi. Maka dalam
konsep tradisi Jawa, justru klimaks dicapai pada saat bulan arwah, atau
sasi Ruwah, satu bulan sebelum bulan puasa. Di mana dipuncaki dengan
berbagai acara misalnya bersih bumi, ruwat bumi, meliputi bersih-bersih
desa, sungai, hutan, sawah dsb. Ada dalam rangkaian tradisi nyadran, dengan acara menghaturkan sembah bekti
dan mendoakan kepada para arwah leluhur masing-masing dengan harapan
agar beliau-beliau mendapat tempat kemuliaan di alam keabadian. Semua
itu dilakukan sebagai langkah konkrit mensyukuri nikmat dan anugerah
Tuhan yang Mahakuasa serta tanda terimakasih yang sebesarnya kepada
generasi pendahulu yang telah berhasil menjaga kelestarian alam sehingga
dapat mewariskan harta karun berupa desa, sungai, hutan, laut, alam
semesta dalam keadaan yang baik dan tidak rusak. Setelah klimaks
dipuncaki pada bulan Ruwah, bulan selanjutnya, umat mulai menata diri,
mawas diri, melakukan evaluasi dan kontemplasi atas apa yang bisa
dilakukan selama ini. Coba bandingkan dengan ulah manusia sok suci dan sok tahu di zaman sekarang ini ? adoh sungsate…!!
Siapa pun orangnya yang merasa sukses
menjalani gemblengan selama bulan puasa, perasaan itu hanyalah sekedar
penilaian subyektif terhadap diri sendiri. Bahkan saya menawarkan cara
paling sederhana mengukur tingkat keberhasilan anda menjalani ibadah
bulan suci ramadhan. Timbanglah berat badan anda pada saat memasuki
bulan ramadhan. Setelah itu, timbanglah lagi pada saat sore hari setelah
lebaran hari raya Iedul Fitri. Jika berat badan anda mengalami
kenaikan, hendaknya tidak perlu GR bahwa diri telah siiip dan
sukses menjalani gemblengan diri di bulan suci. Apakah mayoritas umat
Islam di Indonesia sukses menjalani ibadah di bulan suci ? Saya sangat meragukan..!
Coba anda kontemplasi sejenak, bukankah harga sembako melambung tinggi
setiap memasuki bulan suci Ramadhan dari tahun ke tahun, bahkan
mengalami kenaikan harga hingga 50%. Hebat ! Artinya apa semua itu ?
masyarakat yang sedang menjalani ibadah puasa, justru melakukan
stokisasi, penumpukan cadangan sembako, bahkan sampai mengada-ada
melebihi kebutuhan normal sehari-hari pada bulan-bulan biasa. Tiak hanya
itu saja, pelaku puasa menuntut menu konsumsi makanan yang jauh lebih
mewah dibanding hari-hari biasa. Sehingga permintaan kebutuhan sembako
meningkat tajam, sementara jumlah barang tetap atau jika ada tambahan
stok pun tidak signifikan dengan kenaikan permintaan barang-barang
sembako, sehingga mengakibatkan lonjakan harga yang relatif besar.