Apakah ASAS KEPANTASAN itu ?
Seperti dalam falsafah hidup masyarakat Jawa, bahwa urip iku kudu murup. Artinya, dalam menjalani kehidupan di dunia ini haruslah “menyala”, sehingga cahayanya dapat menerangi sekitarnya. “Menyala” maksudnya kita mampu berperan memberikan konstribusi dalam kelangsungan hidup pada seluruh makhluk. Diri kita diumpamakan lampu. Lampu tidak akan berguna jika tidak menyalakan sinarnya sebagai penerang bagi lingkungannya, yakni menerangi seluruh mahluk hidup dengan cahaya kehidupan. Cahaya kehidupan itu bukan sekedar rutinitas ritual sehari-hari, melainkan amal kebaikan yang nyata kita lakukan untuk seluruh kehidupan, dilakukan setiap saat dengan penuh kasih sayang dan keikhlasan. Amal kebaikan dari tahap dan lingkup paling kecil. Sering menolong, dan membantu sesama dan tidak pilih kasih. Selalu memberikan kemudahan dan jalan hidup kepada sesama manusia tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan. Di situlah kewajaran sebagai seorang pemimpin agar dapat memberikan anugrah kemakmuran dan kesejahteraan kepada rakyatnya. Semakin intens seseorang menjadi “murup”, akan semakin tinggi pula asas kepantasannya.
Sebaliknya, jika kehidupan seseorang tidak “murup”, artinya hidup seseorang hanya akan menjadi sumber kegelapan, perilakunya menimbulkan kebinasaan, sikapnya merusak dan merugikan sendi-sendi kehidupan, menghancurkan lingkungan alam, mengganggu ketentraman dan kedamaian masyarakat. Segala macam penyakit hati, iri, dengki, amarah merupakan sumber malapetaka bagi seluruh kehidupan di planet bumi ini.
Untuk itu, seorang pemimpin haruslah “murup”, buktikan terlebih dahulu agar hidupnya berguna untuk seluruh kehidupan bangsa manusia, tumbuhan, dan binatang. Mulai dari lingkup terkecil, keluarga, sampai masyarakat luas. Maka asas kepantasan akan dapat terpenuhi, dan seseorang barulah akan pantas menjadi pemimpin yang membawa berkah dan anugrah bagi daerah yang dipimpinnya.
Seseorang (calon pemimpin) yang telah mencapai level tertentu asas kepantasan akan dinilai oleh hukum tata keseimbangan alam sebagai orang yang layak menerima wahyu kepemimpinan. Wahyu kepemimpinan berbeda setiap level kepemimpinan. Wahyu kepemimpinan untuk Lurah atau Kepala Desa lazimnya disebut “ndaru” atau pulung. Wujudnya cahaya putih perak kemilauan, dengan ukuran diameter antara 50-100 cm. “Ndaru” bisa dilihat dengan mata wadag, jatuh di atas rumah orang yang akan terpilih menjadi Lurah. Jatuhnya pulung itu biasanya terjadi malam sebelum pemilihan lurah.
Sapa sing gawe urup marang liyan, ateges gawe murup awake dewe
Artinya : siapa yang bisa menjadi penerang bagi orang lain, itu merupakan tindakan menyalakan “pelita” bagi dirinya sendiri. Kalimat sederhana di atas merupakan ayat-ayat (rumus hidup) yang tersurat di dalam hukum alam. Bagi siapapun yang dengan tulus selalu memberikan konstribusi bagi kelangsungan hidup orang lain atau kepada seluruh makhluk, perbuatan itu merupakan amal kebaikan yang akan berguna untuk membangun kelangsungan hidup bagi dirinya sendiri. Senada dengan rumus bahwa,”kebaikan yang kita lakukan kepada orang lain akan kembali kepada diri kita sendiri”. Maka sebagai tanggungjawabnya bilamana kita berharap agar hidup kita tetap berlangsung sesuai yang diharapkan, kita harus mau dan mampu membuat diri kita berguna bagi kelangsungan hidup seluruh kehidupan di lingkungan kita.
Apakah “Asas Kepantasan” dapat dimanipulasi ?
Asas kepantasan dapat dimanuipulasi dengan cara menyalahgunakan kekuatan uang dan kekuasaan. Orang yang tidak pantas menjadi pemimpin bisa saja terpilih melalui cara yang kotor, misalnya membeli suara, menyuap KPU, jaksa, mencurangi lawan dst. Pendek kata, uang dan kekuasaan dapat untuk membeli kekuasaan. Akan tetapi jabatan yang diperoleh melalui cara kotor demikian itu resikonya sangat besar. Jabatannya tidak akan menjadi berkah untuk dirinya maupun untuk masyarakat yang dipimpinnya. Sebaliknya akan menjadi malapetaka untuk dirinya bahkan bisa juga menimpa masyarakat yang dipimpinanya. Itu tindakan melawan hukum alam, cepat atau lambat, langsung atau tidak langsung, hukum timbal balik (sebab akibat) pasti terjadi. Gambaran di atas merupakan paradoks dari keadaan orang yang menerima wahyu, karena dinilai oleh hukum tata keseimbangan sudah memiliki asas kepantasan, tentu saja dia sebagai orang yang selaras dan harmonis dengan hukum alam.
Rahayu Sagung Titah Dumadi.